Dari hari kehari wacana khilafah Islamiyah makin kencang dilontarkan oleh sebagian kelompok umat Islam, lebih-lebih setelah jatuhnya Khilafah Utsmaniyah pada tgl 3. Maret 1924. Khilafah Utsmaniyah barakhir sejalan dengan kencang tuntutan kemerdekaan di berbagai negara kolonial yang berpenduduk mayoritas Muslim, seperti negara yang ada di kawasan Asia Tenggara, Afrika utara, Mesir, negara-negara Teluk, Asia Selatan, dan lain-lain. Negara-negara kolonial melihat bahwa kekuasan Turki Usmani yang kuat yang menguasai Timur Tengah dan negara-negara “Eropa Timur” karena kekuatan Khalifah yang amat tinggi. Khilafah amat berkaitan dengan kekuasaan, kepemimpinan, al-Imam al-A’zham, pemimpin besar.
Pada konteks ini, kepemimpinan sesudah Nabi saw. yang fungsinya mengemban tugas-tugas kenabian, khilafat al-nubuwwah, yaitu menjaga agama dan mengatur urusan dunia. Pengemban tugas khalifah sesudah Nabi, ada yang bergelar Khulafa Rasyidun, sebagai pengemban amanah kekuasaan yang dinilai baik oleh para sejarawan, sementara khalifah sesudahnya, walaupun dalam pelaksanaannya banyak mendukung berkembangnya dakwah dan peradaban Islam, tetapi dalam praktek kenegaraan dan ketatanegaraan mengandalkan keturunan, “semi kerajaan”, sebagaimana terjadi sampai kekuasaan Turki Usmani. Sementara itu, gelar kekuasaan berbeda-beda, seperti sultan-sultan dan amir-amir di negara-negara kecil. Masalahnya sekarang bagaimana konsep khilafah dalam Islam dan bagaimana pula keberadaan negara-negara nasional sekarang dikaitkaan dengan konsep khilafah masa silam. Untuk menjawab pertanyaan ini ada beberapa pendekatan yang digunakan dan menjadi problem epistemologis (metode berfikir) sepanjang masa, khususnya di kalangan fuqaha siyasah.
Para khalifah pasca Khulafa Rasyidun dari tahun 661 M-1924 M sebanyak Tujuh dinasti dengan , yaitu Bani Umayah (661-750 M- 14 orang), Bani Abbas (750-1258 M- 37 orang), Bani Umayah Spanyol (756-1031 M- 18 orang), Fathimiyah Mesir (909-1171 M- 14 orang), Turki Usmani (1299 – 1924 M- 37 orang), Syafawi Iran (1501-1722 M- 9 orang), Moghul India (1526-1858 tak jelas berapa banyaknya).
Ada tiga kelompok pemikir Muslim dalam memaknai negara khilafah. Pertama, menolak sama sekali Islam memiliki konsep negara dalam Islam, seperti dikemukakan oleh Thaha Husein dan Ali Abdurraziq dalam karyanya, Al-Islam wa Ushul al-Hukmi. Teori politiknya disamakan dengan teori politik barat yang tidak mengakui sama sekali agama berkiprah dalam politik. Mereka menyamakan Islam dengan Nasrani. Kedua, Islam memiliki nilai-nilai pemerintahan yang terkandung di dalamnya, seperti dikemukakan oleh ulama Mesir, penulis Hayatu Muhammad, yaitu Muhammad Husein Haikal; ketiga, mengharuskan kembali ke masa Nabi para Khulafa Rasyidun, seperti dikemukakan Hasan Al-banna, Sayyid Qutub, Syaikh Rasyid Rida, dan Abu al-A'la al-Mududi, bahkan dikehendaki agar kekhilafahan juga ditegakkan kembali, seperti dikemukakan oleh Taqiyuddin al-Nabhani.
Konsep khilafah sebenarnya amat berkaitan dengan konsep Daulah al-Islam-Dar al-Islam secara menyuluh di seluruh dunia. Daulah Islam di masa silam amat berhasil dalam mengembangkan dakwah dan menegakkan syariat. Mendirikan Daulah Islamiyah adalah wajib syar’i dan didukung banyak ayat al-Quran dan al-Hadits yang membicarakannya karena daulah Islam dan pemerintahan Islam yang akan melindungi Islam secara utuh. Menurut Yusuf al-Qardhawi memiliki karekteristik Daulah Islam yang intinya adalah sebagai berikut: “Daulah Madaniyah yang merujuk pada Islam, bersekala internasional, berdasarkan konstitusi dan hukum syariah, berdasarkan musyawarah dan bukan kekuasaan ala kisra, daulah pemberi petunjuk dan bukan pengumpul pajak, melindungi orang-orang lemah, melindungi hak dan kebebasan, daulah yang berprinsip pada akhlak. Sementara itu, tabiat Daulah Islam adalah bukan daulah teokrat,tapi pemerintahan sipil.”
Sekelumit tentang Abu al-A’la al-Maududi
Abu al-A'la Maududi merupakan salah seorang ulama abad ke-20 dan penggagas Jamaat e-Islami (Partai Islam) . Maududi merupakan seorang ahli filsafat, sastrawan, dan aktivis yang aktif dalam pergerakan dan perjuangan Islam di seluruh dunia. Abu al-A’la al-Maududi mendapat ilham dari perjuangan Sayyid Qutb di Mesir yaitu Jamaah al-Ikhwan al-Muslimun . Sebagaimana Sayyid Qutb, Maududi merupakan tokoh perjuangan Islam seluruh dunia.
Maududi, lahir pada 3 Rajab 1321 H (25 September 1903 M) di Aurangabad. Ayah Abu al-A’la al-Maududi ialah Ahmad Hasan yang lahir pada 1855 M , anak bungsu dari 3 kakak beradik. Ia mendapat pendidikan di Madrasah Furqaniyah, sebuah sekolah tinggi terkenal di Hyderabad, bukan sekolah Islam bandar Hyderabad (sekarang Maharashtra) negeri, India. Kemudian melanjutkan pelajaran di Dar al-Ulum di Hyderabad. Mahir berbahasa Arab, bahasa Persi, bahasa Inggris,dan bahasa Urdu.
Tahun 1918 ketika usia 15 tahun, mulai bekerja sebagai wartawan dalam surat kabar berbahasa Urdu untuk mencukupi kehidupannya. Tahun 1920, berprofesi sebagai editor surat khabar Taj, yang diterbitkan di bandar Jabalpore sekarang negeri Madhya Pradesh , India. Tahun 1921, Maulana Maududi pindah ke Delhi bekerja sebagai editor surat khabar Muslim (1921-1923), dan kemudian editor al-Jam’iyat (1925-1928), yang diterbitkan oleh Jam’iyat-i ‘Ulama-i Hind,sebuah partai politik. Hasil kepimpinannya sebagai editor , al-Jam’iyat menjadi surat kabar utama untuk orang Islam di Asia Selatan ( India, Pakistan, Bangladesh , Sri Langka dan Maldive).
Maulana Maududi terlibat membentuk Pergerakan Khilafah dan Tahrik- al Hijrat, yaitu Persatuan Asia Selatan yang menentang penjajahan kolonial inggris. Beliau memprovokatori Muslim India berhijrah ke Afghanistan untuk menentang pemerintahan British. Zaman itu, Maulana Maududi mulai menterjemahkan buku berbahasa Arab dan bahasa Inggris ke bahasa Urdu. Beliau juga telah menulis buku berjudul al-Jihad fi al-Islam -Jihad dalam Islam- diterbitkan secara berkala dengan nama al-Jam’iyat tahun 1927. Tahun 1933, Maulana Maududi menjadi editor majalah bulanan Terjemah al-Qur'an. Bidang penulisan beliau ialah tentang Islam , konflik antara Islam dengan Imperialisme dan modenisasi. Beliau mengemukakan penyelesaian Islam dan Islam ada jawaban bagi setiap permasalahan masyarakat Islam yang dijajah.
Bersama dengan ahli filusuf dan ulama Muhammad Iqbal, Maududi menggagas pusat pendidikan Darul-Islam di bandar Pathankot di wilayah Punjab . Pusat pendidikan ini ialah melahirkan pelajar yang mempunyai falsafah politik Islam. Maulana Maududi mengkritik habis konsep-konsep Barat seperti nasionalisme, pluralisme and feminisme di mana semua ide ini adalah alat Barat untuk menjajah umat Islam. Beliau menegaskan ummat islam untuk bisa mandiri, jihad sehingga berjaya menegakkan negara Islam yang syumul. Maududi telah menterjemah dan menafsirkan al-Qur'an kebahasa Urdu dan menulis banyak artikel berkenaan udang-undang Islam dan kebudayaan masyarakat Islam.
Tentang buku Al-Khilafah wa al-Mulk
Buku ini terdiri dari sembilan bab, dalam Bab I berisi tentang penjelasan Abu al-a'la al-maududi pelajaran apa saja yang bisa diambil dari al-Qur'an tentang al-Siyasah -politik-misalnya tashawwur al-Qur’an bahwa Allah pencipta alam semesta, manusia dan apa saja yang bisa bermanfaat untuk manusia, bahwasanya Allah SWT adalah pemilik alam dan segala sesuatu yang ada di dalamnya (Qs al-Baqarah:107; al-An’am:57).
Selain itu beliau juga menegaskan bahwa Undang-undang tertinggi adalah hukum yang telah dibuat oleh sang Maha pencipta Allah ‘azza wa jalla (Qs AL-ahzab:36; an-Nur: 47-48). Dalam bab yang sama maududi menjelaskan pentingnya asas syura diantara kaum mukminin atau pemilihan umum yang berjalan diatas kebenaran dalam rangka penegakan daulah Islamiyah dan pemilihan rais daulah dan pengatur kekuasaan pemerintahan. Tujuan dari penegakan Daulah Islamiyah terdiri dari dua hal: pertama: menegakkan keadilan yang berdiri diatas landasan kebenaran dan menjauhkan diri dari kedzaliman, kedua: menegakkan shalat dan menunaikan zakat dengan cara yang diatur oleh hukumah setempat. Dalam penjelasan beliau di akhir bab ini tentang karakteristik Daulah Islamiyah dalam al-Quran, yaitu :
o Negara tersebut harus merdeka terbebas dari penjajahan manapun, dan masyarakatnya menerima pemimpin dari kalangan mereka sendiri yang menjunjung tinggi nilai-nilai ilahiyyat yang telah diatur oleh Allah SWT dalam al-Quran dan As-Sunnah.
o Pemimpin negeri itu harus melaksanakan tugas-tugas kenegaraan dengan penuh ikhlas mencapai ridha ilahi.
o Sesuai dengan asas demokrasi, dengan tetap menjunjung Undang-undang tertinggi yaitu al-Qur’an dan al-Sunnah.
o Negara tersebut adalah negara yang berdiri diatas ideologi pemikiran islam yang benar, berjalan diatas asas dan pondasi keimanan yang asasi, dan barangsiapa yang hidup di negara tersebut non muslim maka dia harus mematuhi hukum-hukum yang berjalan diatasnya dengan tetap menjaga hak dan kewajiban mereka sesuai dengan undang-undang yang berlaku.
o Negara yang berdiri diatas mabda’ al-Islam.
o Ruh yang ada di negara tersebut mengikuti akhlaq Islami, bukan hanya berlandaskan politik kekuasaan, berjalan diatas ketaqwaan kepada Allah, dsb.
o Negara tersebut bukan hanya menegakkan konstitusi militer, tetapi juga bertujuan untuk menegakkan amar ma’ruf nahi munkar.
o Asas berdirinya negara itu adalah persamaan hak dan kewajiban serta saling tolong menolong di dalam kebajikan dan taqwa.
o Adanya hubungan yang baik antara penguasa dan rakyat, bukan seperti budak dihadapan majikannya yang harus menuruti semua keinginan majikannya.Dan tidak memperhatikan kebebasan berpendapat dan syura.
Kemudian dalam bab II al maududi menjelaskan tentang dasar-dasar hukum Islam yang terangkum dalam 9 poin yaitu:
1. Menjunjung tinggi dustur ilahi.
2. Adil diantara umat manusia.
3. prinsip persamaan diantara kaum muslimin.
4. Tanggung jawab pemegang kekuasaan.
5. As-Syura.
6. Taat dalam hal kebaikan
7. Anjuran untuk tidak meminta kekuasaan
8. Tujuan adanya negara Islam
9. Al-amr bil ma’ruf wa nahyu an al-Munkar,
Bab III tentang karakteristik khilafah al-Rasyidah, kemudian Bab IV dijelaskan proses beralihnya kekuasaan dari khilafah Islamiyah ke kerajaan, bab V maududi memaparkan perbedaaan antara khilafah Islamiyah dan kerajan, bab VI sebab-sebab munculnya mazhab-mazhab khilafah dalam Islam serta sejarahnya. Bab VII tentang pendapat Imam abu Hanifah seputar khilafah serta karya-karya beliau, bab VIII Mazhab abu Hanifah dalam khilafah serta permasalahan yang berkaitan dengan khilafah.Dan bab yang terakhir beliau menjelaskan tentang Imam abu Yusuf dan karya –karya beliau.
Teodemokrasi
Konsep theo-demokrasi merupakan konsep sistem politik Islam yang digagas oleh Abul A’la Al-Maududi (lahir 1903), ulama Pakistan yang mendirikan gerakan Islam Jamaat-e-Islami pada tahun 1940-an. Konsep itu dituangkan dalam bukunya yang terkenal Al-Khilafah wa al-Mulk (Khilafah dan Kerajaan) yang terbit di Kuwait tahun 1978.
Seperti dapat diduga dari istilahnya, konsep theo-demokrasi adalah akomodasi ide theokrasi dengan ide demokrasi. Namun, ini tak berarti al-Maududi menerima secara mutlak konsep theokrasi dan demokrasi ala Barat. Al-Maududi dengan tegas menolak teori kedaulatan rakyat (inti demokrasi), berdasarkan dua alasan. Pertama, karena menurutnya kedaulatan tertinggi adalah di tangan Tuhan. Tuhan sajalah yang berhak menjadi pembuat hukum (law giver). Manusia tidak berhak membuat hukum. Kedua, praktik “kedaulatan rakyat” seringkali justru menjadi omong kosong, karena partisipasi politik rakyat dalam kenyataannya hanya dilakukan setiap empat atau lima tahun sekali saat Pemilu. Sedang kendali pemerintahan sehari-hari sesungguhnya berada di tangan segelintir penguasa, yang sekalipun mengatasnamakan rakyat, seringkali malah menindas rakyat demi kepentingan pribadi (Amien Rais, 1988:19-21).
Namun demikian, ada satu aspek demokrasi yang diterima Al-Maududi, yakni dalam arti, bahwa kekuasaan (Khilafah) ada di tangan setiap individu kaum mukminin. Khilafah tidak dikhususkan bagi kelompok atau kelas tertentu. Inilah, yang menurut Al-Maududi, yang membedakan sistem Khilafah dengan sistem kerajaan. Dari sinilah al-Maududi lalu menyimpulkan,”Dan ini pulalah yang mengarahkan khilafah Islamiyah ke arah demokrasi, meskipun terdapat perbedaan asasi antara demokrasi Islami dan demokrasi Barat…”
Mengenai theokrasi, yang juga menjadi akar konsep theo-demokrasi, sebenarnya juga ditolak oleh Al-Maududi. Terutama theokrasi model Eropa pada Abad Pertengahan di mana penguasa (raja) mendominasi kekuasaan dan membuat hukum sendiri atas nama Tuhan (Amien Rais, 1988:22). Meskipun demikian, ada anasir theokrasi yang diambil Al-Maududi, yakni dalam pengertian kedaulatan tertinggi ada berada di tangan Allah. Dengan demikian, menurut Al-Maududi, rakyat mengakui kedaulatan tertingggi ada di tangan Allah, dan kemudian, dengan sukarela dan atas keinginan rakyat sendiri, menjadikan kekuasaannya dibatasi oleh batasan-batasan perundang-undangan Allah SWT.
Walhasil, secara esensial, konsep theo-demokrasi berarti bahwa Islam memberikan kekuasaan kepada rakyat, akan tetapi kekuasaan itu dibatasi oleh norma-norma yang datangnya dari Tuhan. Dengan kata lain, theo-demokrasi adalah sebuah kedaulatan rakyat yang terbatas di bawah pengawasan Tuhan. Atau, seperti diistilahkan Al-Maududi, a limited popular sovereignty under suzerainty of God (Amien Rais, 1988:23-24). Dalam bukunya yang lain, yaitu Islamic Law and Constitution (1962:138-139), Al-Maududi menggunakan istilah divine democracy (demokrasi suci) atau popular vicegerency (kekuasaan suci yang bersifat kerakyatan) untuk menyebut konsep negara dalam Islam.
Kedaulatan Tuhan
Catatan kritis ketiga, berkaitan dengan diakomodasinya konsep “kedaulatan Tuhan” (theokrasi) dalam konsep theo-demokrasi Al-Maududi. Dalam hal ini perlu kiranya dicermati, bahwa An-Nabhani mengusulkan konsep “kedaulatan di tangan syara’”, dan bukannya konsep “kedaulatan Tuhan”. Secara substansial memang tak ada perbedaan antara An-Nabhani dengan Al-Maududi mengenai maknanya, yakni bahwa yang berhak membuat hukum hanya Allah semata dan manusia tidak berhak membuat hukum. Namun di sini terlihat dengan jelas bahwa An-Nabhani berusaha dengan amat hati-hati untuk tidak menggunakan istilah “kedaulatan Tuhan” yang bisa menimbulkan kesalahpahaman.
Sikap An-Nabhani tersebut akan dapat dipahami karena dalam teori “kedaulatan Tuhan” terkandung konsep yang bertentangan dengan Islam. Teori “kedaulatan Tuhan” tak dapat dilepaskan dari konsep theokrasi yang berkembang di Barat pada Abad Pertengahan (abad ke-5 s/d ke-15 M). Menurut The Concise Oxford Dictionary, hal. 1321, istilah theokrasi dikaitkan dengan pemerintahan atau negara yang diperintah oleh Tuhan, baik secara langsung maupun melalui kelas kependetaan. Dalam teokrasi Barat ini, konsep “kedaulatan Tuhan” mempunyai arti bahwa yang memiliki kekuasaan tertinggi atau kedaulatan adalah Tuhan. Selanjutnya, Tuhan mewakilkan kekuasaan-Nya kepada raja atau Paus (Amiruddin, 2000:103-104). Oleh karena mewakili Tuhan, maka segala perilaku raja atau Paus selalu terjaga dari kesalahan atau suci (ma’shum, infellible). Jadi, negara theokrasi –yang menjalankan teori kedaulatan Tuhan– merupakan negara yang dipimpin oleh gerejawan atau raja yang menganggap segala perilaku mereka terjaga dari kesalahan dan suci. Maka dari itu, apa yang mereka halalkan di bumi, tentu halal pula di langit. Apa yang mereka haramkan di dunia, tentu diharamkan pula di langit (lihat Dr. Yusuf Qardhawy, Fiqih Daulah, hal. 81). Bahkan menurut Imam Khomeini, tokoh kaum Syiah yang sangat terpengaruh dengan konsep theokrasi Eropa, kesucian para pemimpin/penguasa, berada pada martabat yang sangat tinggi yang bahkan tak bisa dijangkau oleh para nabi maupun malaikat muqarrabin (lihat Al-Imam Al-Khomeini, “Al-Wilayah At-Takwiniyah”, Al-Hukumah Al-Islamiyah, hal. 52).
Dari uraian sekilas ini, nampak teori “kedaulatan Tuhan” sungguh tak dapat dilepaskan dari konsep theokrasi yang bertentangan dengan Islam. Setidaknya ada tiga poin krusial yang menunjukkan kontradiksi teori “kedaulatan Tuhan” (theokrasi) dengan Islam. Pertama, dalam teori kedaulatan Tuhan, penguasa adalah wakil Tuhan di muka bumi. Sedang dalam Islam, seorang khalifah dalam negara Khilafah adalah wakil umat -–bukan wakil Tuhan– dalam urusan kekuasaan dan penerapan hukum-hukum Syariah Islam (An-Nabhani, 1990:48). Kedua, dalam teori kedaulatan Tuhan, penguasa bersifat ma’shum. Sedang dalam Islam seorang khalifah bukan orang ma’shum. Bisa saja dia berbuat dosa dan kesalahan. Karena itulah, amar ma’ruf nahi munkar disyariatkan (An-Nabhani, 1990:119-121). Ketiga, dalam teori kedaulatan Tuhan, penguasa atau gerejawan membuat undang-undang atau hukum yang berasal dari dirinya sendirinya, tanpa suatu acuan dan pedoman yang jelas dari wahyu Tuhan. Sedang dalam Islam, penguasa mengadopsi hukum-hukum syara’ berdasarkan ijtihad yang sahih dengan acuan dan pedoman yang jelas, yaitu Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya (Djaelani, 1994:86-87). Walhasil, adanya kontradiksi tajam antara “kedaulatan Tuhan” dengan Islam inilah yang kemungkinan membuat An-Nabhani berhati-hati merumuskan konsepnya sebagai “kedaulatan di tangan syara’ “ (as-siyadah li asy-syar’i), bukan kedaulatan di tangan Allah (as-siyadah li-llah), demi kejernihan pemikiran.
Read more: http://www.mediarobbani.com/2011/07/pemikiran-politik-abul-ala-al-maududi.html#ixzz2lG7jzDCf
Tidak ada komentar:
Posting Komentar