A. Prolog
Dalam khazanah teori politik Islam, Islam dan Negara, sangatlah menarik untuk diperbincangkan dalam ranah politik Islam. Banyak dari para pemikir Islam modern yang mencoba memberikan kajian mengenai Islam dan negara. Oleh sebab itu, dalam pembahasan kali ini penulis mencoba untuk mengkaji Islam dan negara berdasarkan salah satu tokoh dari para pemikir politik Islam kontemporer, yakni pemikiran politik Abul A’la Al-Maududi.
- Bagaimana Latar Belakang Riwayat Abul A’la Al-Maududi?
- Bagaimana Pokok-pokok Pemikiran Abu A’la Al-Maududi Tentang Kenegaraan?
- Sekilas Riwayat Abul A’la Al-Maududi
Abu al-A'la Maududi merupakan salah seorang ulama abad ke-20 dan penggagas Jamaat e-Islami (Partai Islam) . Maududi merupakan seorang ahli filsafat,sastrawan, dan aktivis yang aktif dalam pergerakan dan perjuangan Islam di seluruh dunia. Abu al-A’la al-Maududi mendapat ilham dari perjuangan Sayyid Qutb di Mesir yaitu Jamaah al-Ikhwan al-Muslimun . Sebagaimana Sayyid Qutb, Maududi merupakan tokoh perjuangan Islam seluruh dunia.
Maududi, lahir pada 3 Rajab 1321 H (25 September 1903 M) di Aurangabad. Ayah Abu Al-A’la Al-Maududi ialah Ahmad Hasan yang lahir pada 1855 M , anak bungsu dari 3 kakak beradik. Ia mendapat pendidikan di Madrasah Furqaniyah, sebuah sekolah tinggi terkenal di Hyderabad, bukan sekolah Islam bandar Hyderabad(sekarang Maharashtra) Negeri, India. Kemudian melanjutkan pelajaran di Dar al-Ulumdi Hyderabad. Mahir berbahasa Arab, bahasa Persi, bahasa Inggris,dan bahasa Urdu.
Maududi terlibat membentuk Pergerakan Khilafah dan Tahrik- al Hijrat, yaitu Persatuan Asia Selatan yang menentang penjajahan kolonial inggris. Beliau memprovokatori Muslim India berhijrah ke Afghanistan untuk menentang pemerintahanBritish. Zaman itu, Maulana Maududi mulai menterjemahkan buku berbahasa Arab dan bahasa Inggris ke bahasa Urdu. Beliau juga telah menulis buku berjudul al-Jihad fi al-Islam (Jihad dalam Islam) diterbitkan secara berkala dengan nama al-Jam’iyat tahun 1927. Tahun 1933, Maulana Maududi menjadi editor majalah bulanan Terjemah Al-Qur'an. Bidang penulisan beliau ialah tentang Islam , konflik antara Islam denganImperialisme dan modenisasi. Beliau mengemukakan penyelesaian Islam dan Islam ada jawaban bagi setiap permasalahan masyarakat Islam yang dijajah. [1]
- Pokok-pokok Pemikiran Abu A’la Al-Maududi Tentang Kenegaraan
Pemikiran pembaruan politik al-Maududi tentang kenegaraan didasari oleh tiga dasar keyakinan yaitu:
- Islam adalah suatu agama yang paripurna
2. Kekuasaan tertinggi, yang dalam istilah politik disebut kedaulatan adalah pada Allah dan umat manusia hanyalah pelaksana kedaulatan Allah sebagai khalifah Allah di bumi.
3. Sistem politik islam adalah suatu sistem universal dan tidak mengenal batas-batas dan ikatan-ikatan geografi, bahasa dan kebangsaan.[2]
Berdasarkan tiga dasar keyakinan atau anggapan tersebut, maka lahirlah suatu konsep sistem politik Islam yang digagas oleh Al-Maududi yaitu Konsep theo-demokrasi yang dituangkan dalam bukunya Al-Khilafah wa al-Mulk (Khilafah dan Kerajaan) yang terbit di Kuwait tahun 1978.
konsep theo-demokrasi adalah akomodasi ide theokrasi dengan ide demokrasi. Namun, ini tak berarti al-Maududi menerima secara mutlak konsep theokrasi dan demokrasi ala Barat. Al-Maududi dengan tegas menolak teori kedaulatan rakyat (inti demokrasi), berdasarkan dua alasan. Pertama, karena menurutnya kedaulatan tertinggi adalah di tangan Tuhan. Tuhan sajalah yang berhak menjadi pembuat hukum (law giver). Manusia tidak berhak membuat hukum. Kedua, praktik “kedaulatan rakyat” seringkali justru menjadi omong kosong, karena partisipasi politik rakyat dalam kenyataannya hanya dilakukan setiap empat atau lima tahun sekali saat Pemilu. Sedang kendali pemerintahan sehari-hari sesungguhnya berada di tangan segelintir penguasa, yang sekalipun mengatasnamakan rakyat, seringkali malah menindas rakyat demi kepentingan pribadi.[3]
Namun demikian, ada satu aspek demokrasi yang diterima Al-Maududi, yakni dalam arti, bahwa kekuasaan (Khilafah) ada di tangan setiap individu kaum mukminin. Khilafah tidak dikhususkan bagi kelompok atau kelas tertentu. Inilah, yang menurut Al-Maududi, yang membedakan sistem Khilafah dengan sistem kerajaan. Dari sinilah Al-Maududi lalu menyimpulkan, Dan ini pulalah yang mengarahkan khilafah Islamiyah ke arah demokrasi, meskipun terdapat perbedaan asasi antara demokrasi Islami dan demokrasi Barat.
Secara esensial, konsep theo-demokrasi berarti bahwa Islam memberikan kekuasaan kepada rakyat, akan tetapi kekuasaan itu dibatasi oleh norma-norma yang datangnya dari Tuhan. Dengan kata lain, theo-demokrasi adalah sebuah kedaulatan rakyat yang terbatas di bawah pengawasan Tuhan.
Pada dasarnya Al-Maududi menjelaskan bahwa lembaga-lembaga kekuasaan negara dibagi menjadi tiga lembaga Negara yaitu: legislatif, Eksekutif dan yudikatif (Trias Politika), dengan ketentuan sebagai berikut:
a) Legislatif
legislatif merupakan lembaga yang berdasarkan terminologi fiqh disebut sebagai lembaga penengah dan pemberi fatwa (ahl al-hall wa al-‘aqd). Bahwa suatu negara yang didirikan dengan dasar kedaulatan de jure Tuhan tidak dapat melakukan legislasi yang bertolak belakang dengan Al-Qur’an dan Al-Sunnah, sekalipun konsensus rakyat menuntutnya. Dari perintah-perintah ini, maka secara otomatis timbul prinsip bahwa lembaga legislatif dalam Negara Islam sama sekali tidak berhak membuat perundang-undangan yang bertentangan dengan tuntunan-tuntunan Tuhan dan Rasulnya.
b) Eksekutif
Dalam suatu Negara Islam, tujuan sebenarnya dari lembaga eksekutif adalah untuk menegakkan pedoman-pedoman Tuhan yang disampaikan melalui Al-Qur’an dan Al-Sunnah serta untuk menyiapkan masyarakat agar mengakui dan menganut pedoman-pedoman ini untuk dijalankan dalam kehidupan mereka sehari-hari.
c) Yudikatif
Lembaga yudikatif yang dalam terminologi hukum Islam dikenal sebagai Qadha juga diisyaratkan maknanya oleh pengakuan atas kedaulatan de jure dari Tuhan yang maha kuasa. Jadi lembaga yudikatif menekankan bahwa orang-orang yang tidak memutuskan perkara sesuai dengan hukum Ilahi adalh orang-orang kafir, dzalim, dan fasik. Setelah itu, harus ditekankan bahwa pengadilan-pengadilan hukum dalam suatu negara Islam ditegakkan untuk menegakkan hukum Ilahi dan bukan untuk melanggarnya sebagaimana yang dilakukan dewasa ini dihampir semua negara muslim.[4]asarnya mem
C. Epilog
Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa konsep teodemokrasi lebih banyak mendatangkan masalah dan kerumitan baru, daripada mendatangkan kecemerlangan dan penyelesaian berbagai masalah. Dalam beberapa hal, konsep teodemokrasi cukup bisa membedakan dengan kontras sistem Khilafah dan Kerajaan. Tapi konsep ini tidak bisa membedakan secara jelas perbedaan Sistem Republik atau Republik Islam dengan sistem Khilafah. Ini tentunya wajar karena konsep teodemokrasi memang didasarkan pada sikap akomodatif antara Islam dan ide demokrasi, sebagai dasar sistem republik. Jika ini yang terjadi, maka terwujudnya sistem Khilafah akan mengalami hambatan dan akan memakan waktu lebih lama, karena bisa jadi para aktivisnya terkecoh dengan jalan perjuangan kooperatif melalui perbaikan sistem republik yang ada. Apalagi kalau namanya sedikit diganti menjadi “Republik Islam”, seperti misalnya Republik Islam Pakistan. Sudah selayaknya, kejernihan dan kecemerlangan berpikir selalu dikedepankan dalam upaya menuju kebangkitan umat. Sebab umat Islam tidak akan mungkin mengalami kebangkitan pemikiran, kecuali dengan kembali mengambil pemikiran-pemikiran yang cemerlang (mustanir). Konsep yang kabur atau kurang jelas sudah selayaknya dikesampingkan, untuk menuju konsep yang lebih jernih dan cemerlang.
Sumber : http://wardahthoyyibatul.blogspot.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar